Jubelium 80 Tahun Huria Kristen Indonesia (1927-2007) di Daerah Satu Oleh Pdt. Dr. Batara Sihombing, M.Th
Thema: Tuhan adalah Gembalaku, takkan kekurangan aku (Mazmur 23:1).
Ungkapan ‘Tuhan adalah gembalaku’ di dalam Alkitab hanya pernah diucapkan oleh Yusuf pada Kejadian 48:15 dan pemazmur sendiri pada Mazmur 23:1. Terlihat sangat langka ungkapan ‘Tuhan adalah gembalaku’ diucapkan oleh seseorang di dalam Alkitab. Akan tetapi ungkapan ‘Tuhan sebagai gembala Israel’ cukup sering kita dapati di dalam Alkitab (Maz 80:2; bnd. Kej. 49:24; Maz 28:9; 74:1; 77:21; 78:52-53; Mika 7:11-15; Yes 40:11). Orang yang mengaku bahwa Tuhan adalah gembalanya maka dia juga mengaku bahwa Tuhan telah melepaskan hidupnya dari segala bahaya. Walaupun hidup dalam kegetiran dan menghadapi bahaya dia tidak akan kekurangan (Maz 43:11) sebab Tuhan akan menyertai dia dan menyediakan hidangan bagi hidupnya (Maz 23:4-5). Dari Mazmur 23 kita mengetahui bahwa pada ayat 1-4 pemazmur mengaku Tuhan sebagai gembala yang baik dan pada ayat 5-6 pemazmur mengaku Tuhan sebagai tuan rumah yang menerima tamu dengan baik atau tuan rumah yang ramah.
Pekerjaan seorang gembala di zaman Alkitab di Timur Tengah cukup melelahkan dan mengkhawatirkan sebab dia harus mengembara antara gurun yang berbatu-batu dan tandus, dan daerah pertanian untuk membawa domba mendapatkan sepetak rumput atau tanaman hijau. Seorang gembala harus mengenal setiap mata air, sumur, sungai, dan memperhitungkan di mana terdapat rumput menurut musimnya. Di samping itu, sang gembala juga harus jeli memperhatikan domba yang bunting atau yang menyusui serta anak-anaknya yang belum bisa berjalan jauh, menolong domba yang luka karena batu yang tajam atau duri, menjaga domba agar berjalan tidak terpisah dari kawanan domba yang lain, dan juga melindungi domba terhadap binatang buas dan pencuri. Pendek kata, tugas seorang gembala menuntut tanggung jawab yang besar sehingga disamakan dengan tugas seorang raja dalam mengatur suatu negara atau tugas Allah dalam memelihara manusia.
Perjalanan HChB/HKI selama 80 tahun juga melewati trase yang penuh penderitaan, kesepian, dan ancaman perpecahan. Sebagai Gereja pertama yang mandiri di Indonesia pada tanggal 1 Mei 1927, HChB atau HKI tentulah menghadapi resiko yang tidak gampang dihadapi. Pada zaman penjajahan Belanda di mana warga jemaat masih miskin dalam ekonomi, ilmu, dan pengetahuan, warga jemaat pribumi telah berani dan siap untuk self-reliance atau mandiri. Di tengah teologi, dana, dan pelayanan masih didominasi oleh lembaga penginjilan Jerman (RMG), HChB sebagai jemaat yang mungil di Pantoan, tepatnya di km 4 jalan Sangnawaluh Pematangsiantar, menyatakan dirinya terpisah dari lembaga penginjilan Jerman. Ini berarti HChB sekaligus mandiri dalam teologia, daya, dan dana. Dapat dipahami bagaimana respon dari masyarakat pada waktu itu. Mayoritas jemaat Kristen mengganggap HChB pajagojagohon atau berlagak mampu.
Anggap remeh para warga Kristen terhadap HChB dinampakkan juga oleh sikap RMG yang tidak setuju dan tidak mengakui berdirinya HChB. Tidak mendapat pengakuan dari Gereja atau RMG namun HChB dalam sejarah berdirinya mendapat sambutan dan restu dari pemerintah kolonial Belanda yang pada waktu itu memerintah Indonesia. Sambutan dan restu dari pemerintah kolonial ini didasarkan atas surat pemberitahuan kepada pemerintah kolonial kabupaten Simalungun dan tembusan kepada Ephorus RMG/HKBP, Warneck, oleh penggerak HChB yaitu Tuan Sutan Malu Panggabean pada tanggal 1 April 1927. Dalam isi surat tersebut dipaparkan bahwa mulai 1 Mei 1927 tidak ada lagi campur tangan atau hubungan badan Zending Jerman (RMG) dengan Sutan Malu dan kawan-kawan dalam urusan kegerejaan sebab mereka akan berdiri sendiri.
Perhatian secara khusus datang dari pemerintah pusat, yaitu Gubernur Jenderal Belanda melalui penasehatnya yang datang dari Bogor dan memanggil Sutan Malu untuk datang ke rumah Assistent Resident Simalungun di Pematangsiantar pada tanggal 30 April 1927. Adviseur Gubernur Jenderal itu bertanya kepada Sutan Malu, “Dengan dasar apakah tuan memisahkan diri dari Rhijnse Zending Jerman?” Dan Sutan Malu menjawab, “Kami memisahkan diri sesuai dengan firman Tuhan yang tertulis dalam kitabnya Yakobus 1 ayat 22 yang berbunyi: “Tetapi hendaklah kamu menjadi pelaku firman dan bukan hanya pendengar saja; sebab jika tidak demikian kamu menipu diri sendiri.” Kemudian esok harinya, tanggal 1 Mei 1927, ketiga tuan itu: tuan Assistent Resident dari Bogor, tuan Adviseur Gezaken, dan tuan Assistent Resident Simalungun datang ke Pantoan menghadiri acara berdirinya “Veriniging Huria Christen Batak”. Ketiga tamu pemerintah itu mengucapkan selamat kepada HChB dengan ucapan “Horas ma Huria Christen Batak!”. Salam tersebut berisikan selamat berdirilah HChB dan selamat berjalan dan bertumbuhlah HChB memikul salib Kristus. Sejak saat itu berdirilah persekutuan orang percaya sebagai Gereja yang dinamai Huria Christen Batak yang semua anggotanya adalah warga jemaat, tak seorang pun Pendeta.
Sunggulah layak bila warga HChB/HKI sejak berdirinya mengaku bahwa Tuhan adalah gembala HChB/HKI karena di tengah tiadanya pengakuan dari Gereja tetapi mendapat sambutan dari pemerintah. Semuanya ini adalah penampakkan kasih Tuhan terhadap domba-dombaNya. Terlebih dalam kesaksiannya, pendiri HChB yaitu Sutan Malu dengan jelas mengatakan bahwa dasar dari HChB adalah firman Tuhan yang tertulis pada Yakobus 1:22. HChB mau menjadi pelaku firman Tuhan. HChB mau bertumbuh dengan melaksanakan firman Allah. Warga yang bertumbuh adalah warga yang diharapkan untuk mandiri. Tanpa pertumbuhan maka tidak akan ada kemandirian, tetapi yang ada keadaan seperti bayi atau anak kecil yang bergantung pada orang tua.
Seiring dengan berjalannya waktu, salib yang dipikul HChB juga semakin nyata beratnya. Sebagai persekutuan orang yang percaya tentulah tugas-tugas pelayanan dalam memberitakan firman Tuhan dan Sakramen sangat mendesak untuk dipenuhi. Oleh karena HChB tidak mempunyai Pendeta maka dibuatlah permohonan kepada RMG untuk mengirim tenaga pelayan dan melayankan Sakramen, tetapi permohonan ini ditolak Ephorus RMG. Nampak jelas bahwa HChB mau mengikuti etika dan aturan yang layak, tidak gegabah mengikuti emosi dan kemauan sendiri. Permohonan tetap disampaikan kepada RMG untuk mengutus Pendeta melayani Sakramen karena memang HChB menyadari dirinya persekutuan yang kudus dan am. Suatu gambaran dari domba yang tulus berjalan dalam gembalaan sang Gembala Yang Baik. Oleh karena penolakan pihak RMG maka HChB membuat permohonan kepada pemerintah setempat, Assistent Resident Simalungun, yang menyetujui permohonan tersebut.
Hasilnya, seorang guru dan seorang pendeta yang dilepaskan oleh RMG ditahbiskan menjadi Pendeta di HChB. Dapat disebutkan bahwa kedua orang Pendeta inilah sebagai Pendeta HChB yang pertama melakukan pelayanan di HChB. Salah satu nama Pendeta yang dimiliki HChB untuk pertama kali ini adalah Pdt. Hendrik Situmeang. Di tengah penolakan dan kesesakan, HChB mendapat persetujuan dari pemerintah untuk menahbiskan Pendeta yang dengan itu pelayanan di HChB dapat terus berjalan. Sungguh ajaib bahwa Tuhan sebagai Gembala setia menuntun HChB ke padang rumput yang hijau (Maz 23:2), untuk mendapatkan makanan rohani, sehingga dengan demikian HChB dapat melanjutkan pengembaraan di padang gurun yang sepi selama 40 tahun (1927-1967). Sungguh, seperti pemazmur berkata, “Engkau menyediakan hidangan bagiku, di hadapan lawanku,” (Maz 23:4) demikianlah kiranya mazmur HChB kepada Tuhan setelah memperoleh dua Pendeta pertama yang melayani di HChB.
Selama kurun waktu 40 tahun, HChB hidup dalam kesepian dan kesendirian karena tidak masuk anggota persekutuan Gereja-Gereja baik di Indonesia atau di dunia. Ketidakmauan RMG/HKBP mengakui HChB hingga tahun 1967 adalah alasan maka tidak ada Gereja lain yang mengakui HChB. Selama 40 tahun HChB/HKI hidup dalam pengembaraan di padang gurun yang terkucilkan dan kekurangan di bidang teologia, pelayan, dan dana karena tiada pengakuan dan persahabatan gerejawi. Tak dapat disangkal menderitanya secara psikologis anggota jemaat HKI di kehidupan masyarakat karena dalam pengakuan HKBP sebagaimana tercantum dalam konfessi HKBP tahun 1951, HKI dipahami sebagai bidat.
Tentulah banyak parodi atau ejekan melekat yang dialamatkan kepada anggota-anggota HKI yang tak perlu disebutkan di sini. Yang mau kita saksikan adalah bahwa selama 40 tahun dalam keterasingan HKI tetap setia berjalan dalam duka dan suka. Singkatnya, HKI tetap eksist! Karena apa? Karena Gembala Yang Baik, yang juga adalah Gembala HKI, yaitu Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang dengan setia menggembalakan Gereja HKI. Umat lain atau Gereja lain boleh saja mengesampingkan atau meng-ekskomunikasi-kan HKI, tetapi Tuhan yang sejak awal di-imani HKI akan tetap setia menggembalakan HKI. Oleh sebab itu sungguh layak dalam pesta jubelium 80 tahun ini jemaat HKI kembali bermazmur: “Bersyukurlah kepada Tuhan sebab Ia baik. Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya.” (Maz 136:1).
Kesetiaan Tuhan dalam menggembalakan HChB/HKI terlihat juga dalam proses HChB mengurus badan hukumnya (rechtspersoon). Telah dua kali (1 September 1929 dan 1 Agustus 1931) pimpinan HChB mengirim surat kepada pemerintahan kolonial Belanda agar badan hukum HChB diberikan tetapi tidak mendapat tanggapan. Maka dengan mengandalkan firman Tuhan yang tertulis pada Lukas 11:9, “Oleh karena itu Aku berkata kepadamu: Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu,” pada bulan April 1933 Sutan Malu berangkat ke Batavia (Jakarta) untuk menghadap Gubernur Jenderal Hindia Belanda membicarakan badan hukum HChB. Maka diadakanlah sidang untuk membicarakan permohonan HChB tersebut. Baik pihak HChB dan pihak RMG menghadirkan pengacaranya masing-masing. Pengacara HChB bernama Mr. Hanif, seorang yang bukan beragama Kristen. Dalam sidang itu pihak RMG tidak dapat membuktikan bila Sutan Malu Panggabean melakukan sesuatu yang bertentangan dengan undang-undang negara dan hukum kegerejaan. Maka keluarlah keputusan pemerintah kolonial Belanda No 29 tanggal 27 Mei 1933 yang menjamin badan hukum (rechtspersoon) HChB.
Keputusan pemerintah kolonial Belanda tersebut diberitakan dalam surat kabar De Javansche Courant tanggal 9 Juni 1933. Sejajar dengan badan hukum yang telah diberikan itu maka Vereniging HChB berobah juga menjadi Zendings Genootschap HChB. Dengan pertolongan Gembala yang setia itu, maka dalam kurun waktu 6 tahun (1 Mei 1927 – 27 Mei 1933), HChB telah muncul sebagai domba kecil yang menang, mendapat pengakuan hukum negara sama seperti induknya RMG/HKBP yang mendapat badan hukum tahun 1930. Di sinilah HChB/HKI mengaku bahwa bila Tuhan yang menuntun walaupun harus melewati lembah kekelaman, pada akhirnya akan tiba di air yang tenang sebagaimana doa pemazmur (Maz 23:4). Bila Tuhan adalah Gembala kita, siapakah yang akan melawan kita? HChB/HKI tidak merasa kekurangan karena Sang Gembala Yang Setia mengetahui apa yang dibutuhkan HChB/HKI. Kemudian, kesetiaan Tuhan dalam menggembalakan HChB/HKI terlihat juga dalam penyelesaikan konflik-konflik yang terjadi di HKI (1935, 1946, 1961, 1989).
Sub-thema: Rasa Syukur Sebagai Pembangun Semangat Warga HKI Dalam Meningkatkan Pelayanan Kasih.
Bersyukurlah sebagai Pelopor Gereja yang Mandiri.
Sejarah kemandirian Gereja di Indonesia tidak terlepas dari perjuangan Gereja HKI yang mulai berdiri sendiri pada tanggal 1 Mei 1927. Kemandirian itu dirumuskan dalam surat Sutan Malu kepada pihak RMG pada tanggal 1 April 2007 di mana sejak tanggal 1 Mei 1927 HKI berdiri sendiri dalam ibadah, teologia, daya, dana, dan tidak mempunyai hubungan lagi dengan RMG atau badan penginjilan Jerman di tanah Batak. Memang hidup dalam kondisi penjajahan Belanda pada waktu itu telah menimbulkan semangat untuk merdeka, semangat untuk lepas dari dominasi orang kulit putih baik dalam hidup bermasyarakat dan hidup gerejawi. Inilah yang disebut semangat nasionalisme, semangat kebangsaan Indonesia. Setelah satu tahun HKI memproklamirkan untuk berdiri sendiri, menjadi pelaku firman Tuhan dengan kekuatan sendiri pada tanggal 1 Mei 1927 di Pematangsiantar, maka di Nusantara ini berkumandang Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 untuk bertekad memiliki bangsa sendiri, negeri sendiri, dan bahasa sendiri, yaitu Indonesia. Kedua gerakan itu menampakkan esensi yang sama, mau bebas dari pengaruh bangsa lain. Bila HKI muncul sebagai kemandirian hidup bergereja, maka Sumpah Pemuda muncul sebagai kemandirian hidup bernegara. Nampaklah, bahwa perjuangan HKI adalah juga perjuangan rakyat yang mau mengatur dirinya sendiri, bukan didikte atau digurui oleh bangsa lain.
Oleh sebab itu tidak mengherankan bila Jenderal Purnawirawan Maraden Panggabean, Ketua Dewan Pertimbangan Agung, dan mantan Panglima ABRI, pada acara jubelium HKI di Jakarta pada tahun 1991, dengan jelas dan tegas mengatakan bahwa HKI adalah Gereja Pejuang. HKI berjuang untuk kemerdekaan atau kebebasan warga Kristen pribumi menjadi pelaku firman Tuhan. Oleh karena perjuangan dan cita-cita yang luhur inilah maka di awal berdirinya HKI banyak warga jemaat yang mempunyai cita-cita yang sama terlibat dalam mendukung visi dan misi HKI. Maka tidak mengherankan bila di dalam buku otobiografinya, Jenderal Maraden Panggabean menulis bahwa selama dua tahun (1940-1942) dia adalah seorang guru di sekolah HChB di Sobolga. Perjuangan HChB/HKI yang selalu dikaitkan dengan zelfstanding (mandiri), sangat cocok dengan aspirasi nasional-nya.
Pengakuan HChB/HKI sebagai Gereja yang mandiri dan berjuang untuk warga pribumi agar mampu menjadi pelaku firman Tuhan secara mandiri di dalam hidup gerejawi juga direkam oleh pimpinan Tentara Nasional Indonesia (1949-1954) yang lain, seorang putra Pematangsiantar, yaitu Letjend Purn. T.B. Simatupang di buku otobiografinya. Dalam bukunya ini T.B. Simatupang memaparkan bahwa HChB berdiri sebagai perjuangan nasionalisme Kristen Batak di mana timbul kesadaran untuk memikul tanggung jawab yang lebih besar dan lebih dalam, di dalam kehidupan kegerejaan yang waktu itu didominasi pimpinan Tuan Pandita Jerman, sedangkan orang-orang Batak hanya dapat menjadi semacam pembantu. Bahkan orang tua dari T.B. Simatupang sendiri disebutkan aktif dalam gerakan nasionalisme Kristen Batak itu di Pematangsiantar.
Sekarang kita melihat bahwa nama Gereja HChB/HKI diingat oleh para pejuang, mantan pimpinan Tentara Nasional Indonesia, yaitu Maraden Panggabean dan T.B. Simatupang. Mereka merekam nama HChB dalam bukunya tidak lain karena perjuangan HChB yang mandiri secara gerejawi sejajar dengan perjuangan bangsa Indonesia yang mau mandiri secara kenegaraan kala itu. Oleh karena kedua Jenderal itu adalah tokoh yang berjasa dalam negara Indonesia ini maka buku mereka akan dibaca banyak orang. Bila pembaca membaca buku mereka maka pembaca itu juga akan membaca bahwa HChB berjuang sebagai Gereja yang mandiri atau pelopor Gereja yang mandiri. Walaupun belum ada buku yang terbit secara nasional dan lengkap untuk menceritakan sejarah perjuangan kemandirian HChB/HKI, tetapi melalui kedua buku Jenderal itu HChB/HKI terekam dalam tinta emas sebagai Gereja pejuang dan Gereja yang mandiri.
Kita patut bersyukur kepada Tuhan bahwa HKI telah berdiri sebagai Gereja yang mandiri. Apabila di tahun 1927, periode masih di bawah kolonialisme dan keterbelakangan, kita (HKI) telah mempunyai pioner-pioner yang visioner, gigih, setia, dan percaya diri, apakah di zaman sekarang ini, setelah 80 tahun, kita masih memiliki pioner-pioner yang demikian? Tak dapat disangkal bahwa salah satu pergumulan kita adalah krisis ke-pioner-an yang setia, rajin, dan gigih menjadi pelaku firman Tuhan di HKI. Banyak jemaat HKI bila pindah ke daerah lain tidak mendaftar di HKI. Tidak sedikit pula warga HKI yang tidak menikmati pelayanan di HKI sehingga lebih suka bergereja di Gereja lain. Mengapa hilang kepioneran mereka? Mungkin jawabnya dapat disebut bahwa mereka belum siap menjadi pioner pelaku firman Tuhan (Yak 1:22) tetapi masih banyak yang menjadi pendengar firman Tuhan saja. Oleh sebab itu dengan berjubeleum ini, kita hidupkan semangat kepioneran untuk merintis pelayanan dan hidup bergereja di HKI. Karena Apa? Karena HKI adalah domba Allah yang telah digembalakan dengan setia, oleh sebab itu kita juga diajak untuk setia. Dalam usianya yang 80 tahun ini HKI membutuhkan pelayan dan warga Gereja yang sanggup berserah sepenuhnya kepada kuasa dan kasih Tuhan. Sang Gembala adalah Tuhan, maka perintah dan kehendak Tuhanlah kita ikuti di dalam bergereja di HKI, bukan kehendak, pengaruh, kekayaan, dan kuasa manusia. Inilah pelayanan kasih yang sejati: tidak melihat muka atau kekayaan, tetapi melihat kebenaran dan keadilan.
Bersyukurlah sebagai Gereja yang Kontekstual
Di dalam awal berdirinya HKI telah disertai dengan pelayanan yang kontekstual. Suatu tanda bahwa HKI memahami konteks dan kebutuhan para warga jemaat. Ada dua yang perlu kita paparkan di sini.
a). Pendidikan.
Sejak berdirinya HKI maka pendidikan diberikan untuk membina para warga yang haus akan pengetahuan. HKI mendirikan sekolah-sekolah untuk mendidik para generasi mudah mempersiapkan dirinya menyongsong masa depan yang penuh harapan. Pendidikan untuk membebaskan bangsa dari kebodohan ini sangat penting karena pada zaman kolonial dan awal kemerdekaan Indonesia pendidikan masih minim dan orang yang pergi ke sekolah harus dari keluarga berada dan juga yang berkedudukan. Padahal sebagai bangsa yang haus akan ilmu dan pengetahuan menjadi banyak orang Batak yang tidak ditampung untuk bersekolah.
HKI jeli melihat kebutuhan warga jemaat ini. Maka di wilayah Tarutung, Sibolga, Pamatangsiantar dan Aceh Tenggara berdiri sekolah-sekolah HKI. Dalam wawancara dengan surat kabar Suara Pembaruan pada tahun 1991 di Jakarta, politikus Kristen yang terkenal, Sabam Sirait mengaku bahwa bahasa Inggeris yang dimilikinya adalah hasil pendidikan di sekolah HKI di Pematangsiantar. Bahkan Jenderal Maraden Panggabean sebagaimana disebutkan di depan, semasa mudanya adalah seorang guru HKI di Sibolga.Tentulah HKI boleh berbangga bila seorang bekas guru-nya mejadi seorang Jenderal dan Panglima ABRI di negara ini. Oleh karena pendidikan yang diberikan HKI inilah maka HKI selalu dikenang sebagai lembaga yang tidak hanya memberitakan keselamatan tetapi juga memberikan pengetahuan kepada warga Gereja. Banyak warga Gereja yang dibebasan dari kebodohan dan dari keterbelakangan.
Sejajar dengan itu maka bila HKI sekarang ini mau dikenang di zaman yang akan datang maka lakukanlah pelayanan pendidikan dengan sungguh dan setia. Kita harus mengigat bahwa apa yang kita tanam itulah yang kita tuai. Bila kita warga Gereja kita didik dengan baik melalui pembinaan di Gereja dan juga kita didik dalam pengetahuan di sekolah-sekolah, merekalah kelak yang akan mengaku bahwa apa yang mereka miliki diperoleh melalui pendidikan HKI. Orang-lah yang akan bersaksi apa yang telah dilakukan HKI. Dengan bersyukur atas pelayanan HKI di bidang pendidikan, kita diajak kembali untuk meningkatkan pendidikan itu sebagai sarana yang awalnya dipakai HKI mendidik warga Gereja.
2). Pem-pribumi-an Teologia.
Kemandirian HKI juga adalah kemandirian di bidang pemahaman teologia khususnya kontesktualisasi teologi. Sejak semula telah ada perbedaan paham antara HKI dengan RMG/HKBP dalam memahami gendang dan tari-tarian Batak. RMG/HKBP memahami pemakaian musik dan tari tradisional itu bertentangan dengan Injl. Sedangkan bagi HKI, unsur-unsur kebudayaan itu telah dimasukkan menjadi bagian yang utuh dalam kebaktian. Mengenai pemakaian musik budaya tradisionil ini dalam ibadah HKI juga disaksikan oleh Prof. Dr. Midian Sirait, seorang putra pendiri HKI di Porsea, dalam buku otobiografi-nya. Ini berarti HKI pada waktu dulu telah sadar melihat perlunya tidak membuang unsur-unsur budaya dalam hidup bergereja. Inilah yang disebut dalam dunia theologia sebagai teologia in loco yang mana barulah tahun 1980-an mulai dibicarakan oleh Gereja-Gereja dan lembaga pendidikan theologia. Tetapi 50 tahun sebelumnya HKI telah menerapkan teologia kontesktualisasi atau teologia in loco itu. Prinsipnya adalah bahwa Injil sebaiknya mendarat dalam budaya manusia penerima Injil itu. Sama seperti Alkitab Perjanjian Baru yang harus ditulis dalam bahasa Yunani karena itulah bahasa yang dipakai secara umum pada waktu itu. Jadi kita tidak perlu mengimpor budaya-budaya asing untuk memuji Tuhan di tempat kita. Kita pakailah sarana, budaya, dan musik kita untuk memuji dan melayani Tuhan.
Hal yang sama kita lihat kemandirian HKI dalam teologia kontekstualisasi ini adalah di bidang komunikasi. Pada awalnya HKI telah menerbitkan majalah Gereja sebagai sarana komunikasi kepada jemaat pada dengan nama MOETIHA. Majalah ini saya temukan dalam Perpustakaan Nasional di Jakarta pada tahun 1992 dengan bimbingan Roh Kudus. Namanya juga nama Batak dan isinya mencakup ulasan nats khotbah, berita perpecahan HKI, dan berita HKI. Pada Majalah itu juga diketahui bahwa Kantor Pusat HKI pada mulanya adalah di Jalan Toba 2 Pematangsiantar. Semuanya ini menjadi bukti bahwa HKI sejak semula dalam kemandiriannya telah berupaya semaksimal mungkin menjalalankan misi kemandirian itu termasuk di dalam pempribumian teologia dan pelayanan. Maka tugas generasi yang sekarang adalah bagaimana meningkatkan dan memperluas kemandirian itu. Horas.
Komentar
Posting Komentar